Dengan meningkatnya transaksi lintas batas, perusahaan kini tidak hanya bertransaksi dalam mata uang rupiah. Banyak perusahaan bertransaksi dalam mata uang asing, seperti dolar Amerika, Euro, Poundsterling, dan lain-lain. Dengan bertransaksi dengan mata uang asing, tentunya dapat memperluas jangkauan pasar suatu perusahaan. Namun, di sisi lain, nilai tukar mata uang yang selalu berubah juga berdampak bagi perusahaan. Salah satu dampak yang mungkin terjadi adalah perusahaan mengalami rugi akibat selisih nilai kurs.
Selisih kurs menurut akuntansi adalah selisih yang dihasilkan dari penjabaran sejumlah tertentu satu mata uang ke dalam mata uang lain pada kurs yang berbeda. Pada dasarnya, rugi akibat selisih nilai kurs dapat menjadi pengurang penghasilan bruto sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf e UU Pajak Penghasilan (PPh).
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
e. kerugian selisih kurs mata uang asing.”
Dalam memori penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh dijelaskan bahwa:
“Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.”
Sesuai ketentuan di atas, Wajib Pajak perlu merujuk pada ketentuan akuntansi. Sesuai Paragraf 26 Pedoman Standar Akuntansi Keuangan, kerugian selisih kurs akan diakui sebagai rugi saat periode terjadinya kerugian tersebut. Dengan demikian, menurut pajak, kerugian selisih kurs akan diakui pada saat rugi tersebut telah terealisasi (realized loss). Jika kerugian selisih kurs ]belum terealisasi (unrealized), tidak dapat diakui sebagai biaya.
Meskipun begitu, terdapat perlakuan yang berbeda atas rugi selisih kurs dalam kondisi tertentu. Pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 disebutkan bahwa:
“Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan langsung dengan usaha Wajib Pajak yang:
a. dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
b. tidak termasuk objek pajak;
tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.”
Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa apabila kerugian selisih kurs berkaitan dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final, atau bukan merupakan objek pajak, maka biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.